Liburan ke Desa Terpencil Ini, Rasanya Kayak di Negeri Dongeng

https://mayday2000.org/

Jujur aja, kadang kita butuh liburan yang beda dari biasanya. Bukan ke mall, bukan ke pantai yang rame sama turis, apalagi staycation di hotel tengah kota yang suasananya itu-itu aja. Nah, beberapa waktu lalu gue mutusin buat liburan ke sebuah desa terpencil yang bahkan sinyal HP pun susah dicari. Tapi percaya deh, pengalaman ini bener-bener nggak terlupakan rasanya kayak masuk ke dunia dongeng!

Desa yang Tak Tercantum di Google Maps

Nama desanya? Rahasia, dong. Biar tetep asri dan nggak kebanjiran wisatawan. Tapi yang jelas, letaknya di lereng pegunungan, jauh dari pusat kota. Gue butuh hampir 6 jam perjalanan, termasuk trekking singkat melewati hutan kecil, buat sampai ke sana. Tapi depo 10k begitu menginjakkan kaki, semua capek langsung hilang. Udara sejuk, kabut tipis yang menyelimuti rumah-rumah kayu, dan suara gemericik sungai di kejauhan… kayak masuk dunia fantasi.

Rumah Kayu dan Taman Bunga Warna-warni

Yang bikin desa ini makin mirip negeri dongeng adalah arsitektur rumah-rumahnya. Hampir semua rumah terbuat dari kayu alami dengan atap jerami. Ada taman kecil di halaman depan, penuh bunga warna-warni yang ditata cantik oleh penduduk lokal. Bahkan ada satu rumah yang punya pagar dari tumbuhan rambat berbunga ungu, persis kayak rumah nenek sihir baik hati di film kartun!

Dan yang paling seru, tiap sore anak-anak desa bakal main di lapangan kecil dekat balai desa, sambil dengerin cerita rakyat dari para tetua. Gue pun diajak duduk bareng, nyeruput teh herbal buatan warga, sambil menikmati dongeng yang disampaikan pakai bahasa lokal tapi tetap seru walau nggak paham semuanya.

Makanan Tradisional yang Super Enak

Urusan perut? Jangan khawatir. Makanan di desa ini mungkin sederhana, tapi rasanya nagih banget. Gue sempat nyobain nasi liwet yang dimasak dengan tungku kayu, lengkap dengan sayur hutan dan sambal terasi buatan sendiri. Ada juga camilan unik kayak singkong bakar isi gula aren dan kelapa. Duh, nulis ini aja gue jadi lapar lagi!

Menariknya, di desa ini semua bahan makanan diambil langsung dari alam sekitar. Mereka tanam sendiri, panen sendiri, dan masak bareng-bareng. Suasana makan malam di sana kayak pesta kecil yang hangat, penuh canda tawa dan keakraban.

Tanpa Sinyal, Tapi Hati Jadi Penuh

Salah satu hal yang paling gue syukuri selama di desa ini adalah—nggak ada sinyal! Awalnya sempat panik, apalagi sebagai orang kota yang hidupnya nempel sama gadget. Tapi ternyata, justru itu yang bikin gue bener-bener “hadir” di momen. Gue jadi lebih banyak ngobrol sama orang, menikmati pemandangan tanpa harus buru-buru ambil foto, dan tidur nyenyak tanpa gangguan notifikasi.

Setiap pagi, gue bangun dengan suara ayam dan bau kayu bakar. Jalan-jalan ke sungai, main sama anak-anak, belajar anyam bambu, sampai bantu panen sayuran—semua itu ngasih pengalaman hidup yang nggak bisa diganti sama apapun.

Rasanya Nggak Mau Pulang

Waktu harus pulang, jujur aja gue berat banget ninggalin desa ini. Penduduknya ramah, suasananya tenang, dan gue merasa lebih “utuh” sebagai manusia. Bukan karena liburan mewah, tapi karena semua terasa tulus dan sederhana.

Kalau lo lagi butuh healing beneran, coba deh cari desa terpencil kayak gini. Nggak harus viral, nggak harus instagramable, yang penting bisa bikin lo merasa damai dan bahagia. Karena kadang, tempat yang jauh dari dunia justru bisa bikin kita lebih dekat sama diri sendiri.

Dan siapa tahu… lo juga bisa nemuin negeri dongeng versi lo sendiri.